Pages

Saturday, 12 May 2018

karinding


"Karinding , alat musik khas tatar sunda Pernah dengar kata karinding? bagi orang yang berasal dari Jawa barat atau sebagian Banten mungkin sudah tahu apa yang dimaksud dengan karinding.
Tapi bila belum tahu seperti saya maka ada baiknya saya perkenalkan kesenian musik yang ternyata telah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu. Memang sih tidak ada yang tahu pasti sejak kapan kesenian musik karinding ditemukan. Yang pasti seni karinding adalah kesenian daerah tatar sunda yang harus dilestarikan.
(tatar Sunda) sangat kaya dengan beragam jenis kesenian tradisional. Mulai dari seni tari hingga alat musik lahir di sini, karinding salah satunya. Alat musik ini telah digunakan oleh karuhun (leluhur) masyarakat Sunda sejak zaman dulu.
Konon kabarnya alat musik ini berusia lebih tua dari alat musik gamelan. Beberapa literatur sejarah menyebutkan keberadaan alat musik ini telah ada sejak permulaan awal masa sejarah Sunda, yakni saat mulai ditemukannya sumber-sumber tulisan pada masa kerajaan Tarumanegara pada abad ke-4 Masehi.

Karinding sendiri dibuat dari pelepah kawung (pohon aren) atau bisa juga dibuat dari bambu. Untuk karinding yang terbuat dari bambu, bentuknya sedikit lebih kecil dan memanjang menyerupai susuk sanggul dan kebanyakan pengguna alat musik ini adalah perempuan. Sementara untuk karinding yang terbuat dari pelepah kawung bentuknya lebih pendek agar mudah disimpan pada tempat tembakau dan banyak digunakan oleh pria.

Alat musik ini dibuat menjadi tiga bagian, yaitu bagian tempat memegang karinding (pancepengan). Jarum tempat keluarnya nada disebut cecet ucing atau ekor kucing. Serta pembatas jarumnya dan bagian ujung yang disebut panenggeul (pemukul).

Cara memainkan alat musik ini yaitu dengan menempelkan bagian tengah di depan mulut yang sedikit terbuka. Lalu bagian pemukul di sebelah kanan disentil dengan jari hingga bagian jarum bergetar. Getaran itulah yang menghasilkan bunyi-bunyian diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi serta tutup buka kerongkongan atau embusan dan tarikan napas.

Salah seorang pelestari alat musik karinding, Endang Sugriwa, menuturkan awalnya karinding digunakan oleh masyarakat pertanian untuk mengusir sepi. Sembari menunggu ladangnya yang berada di hutan mereka biasa memainkan karinding. Namun selain itu, karinding berfungsi sebagai pengusir hama. Bunyi khas dari alat musik ini ternyata menghasilkan gelombang low decibel yang mampu membuat hama menjauhi ladang.

Menurut keterangan orang tua dulu, karinding itu jadi ciri khas masyarakat tatar Sunda. Awalnya karinding digunakan sebagai alat penghibur diri sendiri oleh masyarakat yang sebagian besar petani. Lalu oleh pemiliknya kadang dibawa ke sawah. Maklum orang petani suka kelelahan sambil memainkan alat musik karinding ternyata hama-hama di ladang lari setelah mendengar suara karinding, dianggap sebagai alat pengusir hama, kata pria yang akrab disapa Bah Olot kepada Merdeka.com saat ditemui di tempat workshop karinding di Dusun Parakan Muncang, Desa Cimanggung Kecamatan Cimanggung Kabupaten Sumedang, belum lama ini.

Pada perkembangannya karinding tidak hanya digunakan untuk kepentingan berladang tetapi juga dimainkan dalam ritual atau upacara adat. Bahkan di kalangan pemuda, karinding populer sebagai alat musik untuk menarik lawan jenis. Jika sang pria berkunjung ke rumah wanita, maka pria itu akan memainkan alat musik karinding untuk memikat sang pujaan hati. 

Kalau sudah dibawa ke kampung atau ke rumah suka dipakai ritual, jika terjadi gerhana bulan karinding dimainkan. Selain itu, juga dipakai saat hajatan yang sifatnya kecil-kecilan seperti syukuran kalo hasil panen meningkat, khitanan,dan lain sebagainya, ujar Bah Olot.

Memasuki pertengahan tahun 2000an alat musik tradisional ini perlahan mulai bangkit. Tahun 2008 alat musik ini menjadi magnet baru, terutama kalangan anak muda. Salah satu yang menggerakkan yakni hadirnya grup musik Karinding Attack yang digawangi para pionir dari komunitas metal Ujung Berung Rebels.

Sejak saat itu, karinding terus dipertunjukkan dalam berbagai kesempatan acara musik-musik underground. Hingga akhirnya terus berkembang dan menyebar ke daerah-daerah lain di Jawa Barat seperti Lembang, Subang Ciwidey, Cianjur, Garut, dan lainnya. 

Tak hanya di Jawa Barat di setiap pergelaran musik metal alat musik karinding menjadi bagian yang terpisahkan. Hingga saat ini musik karinding sering dikolaborasikan dengan berbagai jenis aliran musik.

Karinding..!!!Apa itu Karinding..???

Apa itu karinding..???




Karinding adalah alat musik tradisional Sunda. Awalnya, Karinding digunakan sebagai alat untuk menangkal hama oleh petani di sawah. Karinding umumnya terbuat dari bambu, di beberapa tempat yang terbuat dari pelepah kelapa dan logam. Cara bermain ditempatkan di mulut dan kemudian ditumbuk atau bergetar ujung tali. Getaran antara Karinding dan mulut dikombinasikan dengan udara dari mulut menghasilkan suara tidak umum. Karinding ukuran standar adalah 10 cm dan lebar 2 cm. Sekarang Karinding dapat disebut alat musik karena menghasilkan suara yang unik.

Tradisi nyepuh desa ciomas panjalu

TRADISI NYEPUH DESA CIOMAS PANJALU
Rabu, 02 Mei 2018
https://youtu.be/FsW43EPtbzA





Tradisi Nyepuh sesungguhnya merupakan puncak dari rangkaian kegiatan ngamumule (melestarikan) adat karuhun (leluhur). Dan upacara Nyepuh sendiri merupakan manifestasi kearifan lokal yang tidak saja harus dilestarikan, tapi juga diangkat dalam lingkup berbangsa dan bernegara. Sebab di dalamnya terdapat banyak nilai dan layak dipahami sebagai keteladanan.
Ciomas adalah nama desa di kaki Gunung Syawal, Panjalu, Ciamis, Jawa Barat. Di desa ini tergambar kehidupan khas masyarakat Tatar Sunda yang sesungguhnya. Dan seperti desa agraris lainnya, penduduk Desa Ciomas juga menggantungkan hidupnya kepada alam. Ketaatan dan kearifan terhadap alam inilah yang kemudian membuat Ciomas menjadi daerah harmonis dan damai.
Kearifan warga Ciomas terhadap alam tak lepas dari keberadaan hutan yang berada persis di tengah-tengah desa. Hutan seluas 35 hektare ini disebut hutan Sukarame dan dianggap keramat oleh warga. Aturan-aturan tidak tertulis dalam adat masyarakat, membuat hutan ini tetap lestari. Kepatuhan terhadap aturan inilah yang membuat hutan keramat ini masih lestari. Bahkan pemerintah sendiri pernah menganugerahi penghargaan Kalpataru bagi masyarakat Ciomas karena kepeduliannya dalam melestarikan hutan.
Kepercayaan warga terhadap hutan keramat terkait dengan keberadaan makam Kiai Haji Eyang Penghulu Gusti, yang terletak di tengah hutan Sukarame. Di sekitar makam ini pulalah upacara Nyepuh setiap tahun digelar. Menurut sesepuh Karahayuan Pangawitan Ciomas, Ki H Dede Sadeli Suryabinangun, Eyang Penghulu Gusti merupakan penyebar agama Islam di Ciomas. Penghulu Gusti pulalah yang meminta warga setempat untuk selalu memperhatikan hutan dan melestarikannya.
Masyarakat di sana dilarang menebang pohon, apalagi merusaknya. Siapa yang melanggar pantangan itu, dipercaya bakal mendapatkan musibah dalam hidupnya. Karena pantangan itulah tak ada seorang pun warga di sana yang berani berbuat macam-macam di hutan ini.
Mulung Pangpung
Tradisi Nyepuh sendiri merupakan upacara puncak dari rangkaian tradisi lain yang berlangsung sehari sebelumnya. Antara lain tradisi mulung pangpung atau pengambilan kayu bakar dan nalekan(menanyai). Dua acara ini merupakan kegiatan dalam rangka memasak tiga nasi tumpeng untuk melengkapi upacara Nyepuh keesokan harinya. Ritual memasak nasi tumpeng ini dilakukan menggunakan kebersamaan atau gotong royong.
Ritual mulung pangpung dan nalekan ini pun sangat sarat makna. Misalnya pada prosesi mulung pangpung, pengambilan kayunya harus dari hutan. Itupun tidak boleh sembarangan. Pangpung (kayu lempung) yang diambil harus kayu yang sudah jatuh dari pohonnya. “Jadi tidak boleh kayu yang masih nempel, apalagi yang masih tumbuh. Di situlah nilai pelestarian lingkungan yang diajarkan leluhur tetap dijalankan,” tutur Ki H Dede Sadeli kepada posmo.
Selain itu, proses mulung pangpung harus didampingi kuncen hutan Sukarame, yakni Ibu Siti Mariyam. Nah, juru kuncilah yang kemudian membuka hutan agar terbuka bagi para pencari kayu yang dilakoni para pemuda desa. Pengambilan kayu ini pun harus setelah mendapatkan izin lebih dahulu dari penguasa hutan. Maka Diiringi lantunan ayat suci Alquran dan sholawat nabi, mereka berdoa di sekitar makam. Tujuannya agar kayu-kayu yang nantinya digunakan untuk memasak dapat membawa keberkahan.
Bila menengok kenyataan saat ini, kita bisa menyaksikan hutan-hutan di seantero nusantara rusak berat karena tebang dan dijarah. Hal itu, menurut Ki H Dede, karena simbolisasi mulung pangpung ini tidak diamalkan dalam kehidupan. Di Ciomas, 35 ha hutan Sukarena hingga kini masih lestari karena kearifan masyarakatnya. Sehingga jangan heran pemerintah pernah memberi penghargaan Kalpataru kepada masyarakat Ciomas.
Nah, bila keperluan kayu bakar dirasa telah mencukupi, para pemuda desa yang mendapat mengambil kayu harus menunjukkan kayu-kayu tersebut pada tetua desa. Sebelum dibawa ke kampung, tetua diwajibkan memeriksa kayu-kayu itu. Bila ada rayap atau sudah rapuh, kayu itu tak boleh dibawa pulang dan harus dikembalikan lagi ke dalam hutan.
Ritual Nalekan
Setelah bahan-bahan untuk memasak tersedia. Tibalah saatnya ritual nalekan dilakukan. Nalekan adalah ritual menanyai tentang segala hal berkait pembuatan nasi tumpeng, mulai dari bahan-bahan untuk memasak, hingga prosesnya. Sesuai aturan adat, bahan-bahan membuat tumpeng harus berasal dari kebaikan dan harus halal. Bila ada yang diperoleh dari jalan tidak halal, maka harus disingkirkan. Selain itu, yang memasak tiga tumpeng ini pun harus dilakukan oleh 17 wanita yang sudah menopause.
Dapur yang akan digunakan untuk memasak makanan pun tak lepas dari pengawasan para tetua. Maklum, sejumlah persyaratan harus dipatuhi. Terutama penggunaan kayu bakar dan air. Dan perlu diperhatikan, air untuk memasak haruslah diambil dari mata air di gunung.
Makna pemeriksaan bahan-bahan makanan sebenarnya sesuai dengan pesan bulan suci Ramadan yang akan segera datang. Di Bulan Suci inilah, umat yang menjalankan ibadah puasa diharapkan dapat menjaga segala tingkah lakunya dari perbuatan kotor. Itu pulalah yang diharapkan dari Upacara Nyepuh. Melalui ritual ini, warga Ciomas disadarkan tentang arti menyucikan diri untuk menjadi manusia sempurna yang fitri.
Di luar dapur, suasana menjelang upacara Nyepuh begitu kentara. Sejak siang hari hingga malam hari, suasana desa begitu meriah. Para orang tua dan pemuda desa berbaur menjadi satu mempersiapkan atribut berupa bendera dan janur kuning dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga menjadi hiasan yang cantik dan semarak. Saat membuat hiasan upacara, warga pun disarankan untuk menggunakan lampu tempel. Pelita berbahan minyak tanah ini bermakna sebagai penerang kehidupan warga Ciomas. Maka menjelang tengah malam, barisan obor menerangi sepanjang jalan desa.MS