
KI EMUH KUNCEN GUNUNG DJATI DESA UTAMA
A.
Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Ciancang
Kerajaan kecil Ciancang yang setara dengan Kabupaten di Priangan di
bawah kekuasan Kerajaan Mataram berawal dari Kerajaan Galuh Kertabumi yang
didirikan oleh Raja Galuh Maharaja
Sanghiyang Cipta yang berkedudukan di Salawe Cimaragas. Selanjutnya putri raja
Galuh yang bernama Tanduran Ageung menikah dengan Rangga Permana putra Prabu
Gesan Ulun Raja Sumedang Larang. Setelah menikah diberi hadiah daerah Muntur
ditepi sungai Cimuntur maka berdirilah kerajaan Galuh Kertabumi. Kertabumi yang berpindah – pindah ke
Pataruman di daerah Banjar pada tahun
1608 – 1618 oleh Dalem
Wiraperbangsa atau Rd. Ad singaperbangsa I, kemudian berpindah lagi oleh Adipati
Singaperbangsa II ke Liunggunung pada tahun 1630 – 1641 M. Tidak sampai di
situ, pusat pemerintahan berpindah lagi ke Bojong Lompang oleh Singaperbangsa
III atau Dalem Pagergunung pada tahun 1641 – 1654 M. Dan sekali lagi berpindah
ke Ciancang pada tahun 1655 M oleh Adipati Panatuyuda I atau Wiraperbangsa IV.
Alasan perpindahan itu dikarenakan atas dasar rekomendasi keluarganya yang berkeinginan mendekati
leluhurnya yaitu Prabu Dimuntur. Selanjutnya berpindah lagi ke Ciancang karena
wilayah Ciancang di anggap sangat strategis dekat dengan pemerintahan pusat
|
|
Kedudukan dan kekuasan bupati diperkuat lagi oleh hak istimewa bupati
untuk mewariskan jabatan. Salah satu bukti bahwa bupati di priangan mendapatkan
hak mewariskan jabatan dan kekuasan penuh atas dasar daerahnya adalah Piagam
Sultan Agung yang bertiti mangsa 9 Muharam tahun Jim Akhir yang diberikan
kepada Bupati Surakarta. Dalam piagam itu antara lain disebutkan hak bupati
untuk meguasai daerah hingga tujuh turunan.Selain mendapatkan hak untuk
mewariskan jabatan, raja kecil ini juga memperoleh hak untuk memungut pajak
berupa uang, tenaga kerja ( ngawula
), berburu, menangkap ikan, dan mengadili kecuali hukuman pidana mati.
Tinggi rendahnya kedudukan bupati dalam pemerintahan dapat diketahui
dari gelar kepangkatan yang disandangnya. Hiererarki ke pangkatan bupati dari
bawah ke atas adalah: tumenggung-aria-adipati-pangeran.Gelartumenggung diperoleh secara langsung
pada waktu diangkat menjadi bupati, sedangkan gelar aria, adipati, diperoleh karena kondite yang baik dan telah
menunjukan jasa yang pantas dihargai. Selain memiliki gelar kepangkatan, bupati
di priangan juga memiliki gelar kepriyaian, yaitu raden.
Menurut keterangan yang didapatkan penulis dari berbagai sumber ,
Daerah Ciancang pernah di serang oleh para penjarah atau lazim disebut dengan
nama Pasukan Wetan sebanyak tiga
kali. Pada waktu itu penjarah dari Banyumas sekitar 2.000 orang menyerang
Ciancang yang mengakibatkan banjir darah.
tempat kejadian perkara tersebut di duga
berada di dusun Cibeureum desa Utama ( Ciancang ) kecamatan Cijeungjing
Kabupaten Ciamis. Penyerangan dilakukan tiga kali, yaitu :
- Pada masa pemerintahan Ny. Rd. Ayu Rajakusumanagara / Dalem Isrtri ( 1718 – 1736 M ).
- Pada masa Dalem Adipati Jayakusu Manggala / R.d. Tum. Wiramnatri II ( 1736 – 1762 M ).
- Pada masa Dalem Adipati Surianagara / R.d Tumenggung Wiramantri IV ( 1787 – 1789 M ).
Pada
saat terjadinya penyerangan Ny. Rd. Tejakusuma di duga lari menghindari
serangan yang dilakukan oleh penjarah dari Banyumas itu. Beliau selamat dan
mempunyai keturunan.
Atas
dasar penyerangan itu pada masa Kyai Mas Jalipan / panembahan Warganala IV, nama
Ciancang di hapuskan dan diganti menjadi Utama dengan perhitungan mundur dari
bilangan Nista ( tiga ), Maja ( dua ), dan Utama ( satu ).
B.
Hubungan
Kerajaan Ciancang Dengan Kerajaan Galuh
Ciancang di dirikan pada tahun 1655 oleh Dalem Wirasuta atau Wiraperbangsa VI yang bergelar Adipati Panatayuda I
perpindahan dari Kertabumi. Beliau mahir bela diri sehingga mendapat julukan Mas Galak. Beliau menjadi
bupati Ciancang selama tiga tahun karena mendapat tugas menjadi bupati Karawang
dan membasmi para penjahat yang sering
mengganggu ketertiban wilayah Mataram sebelah barat. Ketika beliau menjadi
bupati Karawang kekuasaan Ciancang di pegang oleh anak bungsunya yaitu
Candramerta. Wirasuta adalah putra dari Apun Pagergunung ( bupati Kertabumi IV
) beristeri Nyai Ajeng Asrinagara, puteri Dalem Jangpati Jangbaya. Apun
Pagergunung ( bupati Kertabumi IV ) ayahnya adalah Apun Tambakbaya ( Bupati Kertabumi V ). Sang Raja Cita (
Adipati Kertabumi I ) adalah ayah dari Apun Tambakbaya. Silsilah ini sampai
pada Prabu Dimuntur pendiri Kerajaan Galuh Kertabumi. Bila ditelusuri lebih
jauh Ciancang adalah tetesan dari darah
Prabu Dimuntur atau Pangeran Rangga Permana. Pendiri Kerajaan Galuh
Kertabumi ini adalah putra dari Prabu Geusan Ulun ( Sumedang Larang ). Kerajaan
Sunda runtuh akibat serangan Maulana Yusuf dari Banten, Maharaja Sanghiyang
Cipta Di Galuh tampil penguasa Kerajaan Galuh yang berdiri sendiri dan bertahan
hingga 1595 Pusat kekuasaannya terletak di sekitar Cimaragas.
Maharaja Sanghiyang Cipta Permana Di Galuh merupakan Raja Galuh
terakhir yang beragama Hindu dan setelah meninggal jasadnya dilarung
diCiputraPinggan.Maharaja Sanghiyang Cipta Di Galuh memiliki tiga orang putra,
yaitu Tanduran Ageung (Gayang) di Kertabumi; Cipta Permana (di Galuh Gara
Tengah); Sanghiyang Permana (di Kawasen).Prabu Cipta Permana masuk Islam karena
beliau menikah dengan Tanduran Tanjung Putri Maharaja Mahadikusumah ( Tanduran
Di Anjung ) penguasa Kawali yang bergama Islam, karena Kawali mulai tahun 1570
M sudah dibawah kekuasaan Cirebon.
Bupati Kertabumi I
1.
Sang
Raja Cita ( 1602 – 1608 ) Bupati Kertabumi II
3.
Singa
Perbangsa II ( 1630 – 1641 ) Bupati
Kertabumi IV
4.
Singa Perbangsa III ( 1641 – 1654 ) Bupati
Kertabumi V
5.
Singa Perbangsa IV ( 1654 – 1656 ) Bupati Kertabumi VI
BUPATI CIANCANG
1.
Dalem
Apun Candramerta / Rd. Tumenggung Candramerta ( 1656 – 1658 M )
2.
Dalem
Demang Sutabaya / Rd Adipati Singanagara ( 1658 – 1675 M )
3.
Dalem
Wiranagara / Rd. Tumenggung Warganata ( 1675 – 1683 M )
4.
Dalem
Apun Puspanagara / Rd. Tumenggung Jiranagara ( 1683 – 1685 M )
5.
Pangeran
Warganagala I ( 1685 – 1700 M )
6.
Dalem
Apun Candramerta ( 1700 – 1714 M )
7.
Ny.
Rd. Ayu Rajakusumanagara / Dalem Isrtri ( 1718 – 1736 M )
8.
Dalem
Wertayana / R.d Tumenggung Wiramnatri ( 1718 – 1736 M )
9.
Dalem
Adipati Jaya Manggala / R.d. Tum. Wiramnatri II ( 1736 – 1762 M )
10. Dalem Adipati Suriakusuma / R.d. Tumenggung
Wiramantri III ( 1762 – 1787 M )
11. Dalem Adipati Surianagara / R.d Tumenggung
Wiramantri IV ( 1787 – 1789 M )
12. Panembahan Warganala IV / kyai Jalipan ( 1789
– 1791 M )
C.
Upaya Pelestarian Peninggalan – Peninggalan
Kerajaan Ciancang
Indonesia yang memiliki wilayah cukup luas dengan daratan hampir dua
juta km², terdiri dari berbagai ragam bentuk muka bumi dan alam. Ragam dan
bentuk muka bumi ini lah yang menentukan wajah budaya bangsa. Keanekaragaman
komponen alam ini bisa menjadikan dua kemungkinan. Pertama bisa memacu bangsanya
untuk berkreasi atau sebaliknya. Dengan alam yang aman dan subur bisa juga
menjadi bangsanya bermalas - malasan karena dimanja kenikmatan alam.
Alam yang berubah – ubah cenderung mempengaruhi terhadap budaya
manusia. Kekayaan alam dan budaya merupakan warisan bangsa indonesia yang tak
ternilai dan perlu dilestarikan. Melestarikan alam dan budaya bangsa merupakan
hal yang tidak mudah. Kewajiban manusia lah melalui kemampuanya untuk terus
berupaya melestarikan. Sebab alam dan budaya memiliki arti dan peran strategi
dalam menjaga kelanjutan dan eksistensi budaya bangsa, seperti pepatah sunda
yang berbunyi “ Budaya teh cicirieun bangsa, jaya budayana tinangtu jaya bangsana ”.
Ungkapan pepatah tersebut mengandung makna bahwa budaya adalah jati diri
bangsa, kalau jaya budayanya tentu juga jaya bangsanya.
Warisan budaya bangsa ada yang bersifat tangible dan intangible.
Warisan yang bersifat tangible adalah warisan yang dapat dipegang dan
dipandang. Sedangkan intangible adalah warisan sistem kepercayaan, folkore, bahasa,
upacara adat dan sebagainya. Untuk melestarikan warisan yang bersifat tangible
pemerintah Indonesia pada tanggal 21 maret
1992 menerbitkan Undang - undang No. 5 tahun 1992 tentang benda cagar
budaya sebagai pengganti dari Monumen Ordonantie No. 19 tahun 1931 yang dibuat
oleh Hindia Belanda yang dianggap sudah tidak sesuai lagi. Undang – undang No.
5 tahun 1992 memuat tentang ketentuan, tujuan, maupun peraturan yang berkaitan
dengan penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan,
pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, ketentuan pidana dan peralihan BCB (
Benda Cagar Budaya ).
Peninggalan sejarah alam dan budaya dalam UU No. 5 tahun 1992
dipersempit menjadi BCB dan situs.
Batasan BCB menurut pasal No 1 adalah :
1)
Benda buatan manusia, bergerak maupun tidak bergerak yang berupa
kesatuan atau kelompok, atau bagian – bagiannya atau sisa – sisanya, yang
berumur sekurang – kurangnya 50 ( Lima puluh ) tahun, serta dianggap mempunyai
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
2)
Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, dalam pasal 2 adalah lokasi yang mengandung
atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang
diperlukan bagi pengamannya.( Katalog “Museum Generasi Muda”, Islamik Center,
2009 : 9 )
BCB
bergerak adalah benda buatan manusia yang dapat dipindahkan dengan mudah tanpa
merusak struktur, tempat keberadaan benda tersebut sebagai contoh : keris,
perhiasan, naskah kuna, bagian bangunan, arca dll. Sedangakan BCB tidak bergerak
adalah suatu benda yang sukar dipindahkan, apabila dipindahkan akan merusak
tempat kedudukan benda tersebut, contoh : bangunan, monumen, goa, bekas pondasi
dan sebagainya.
Penanganan
warisan intangible belum memeperlihatkan hasil sesuai harapan bahkan belum ada
peraturan yang secara khusus menjamin kelestariannya, sehingga dengan kuatnya
pengaruh luar dan makin berkurangnya kesadaran masyarakat atas pentingnya
warisan yang menyimpan sejumlah nilai, pengetahuan dan kearifan yang dapat
dijadikan landasan, tuntunan bagi perkembangan budaya kita di khawatirkan akan
terus mengkikis keberadaannya. Dengan dikeluarkanya Perda No. 5,6,7 oleh
pemerintahan Provinsi Jawa Barat tahun 2003 diharapkan pelestarian,
perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan warisan budaya dapat terakomodasi.
Ciancang
meninggalkan benda – benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan
Ciancang yang sebagian besar berbentuk keris, tombak, dan dua buah sumur batu.
Benda – benda ini disimpan di salah seorang warga yang mempunyai garis
keturunan raja kecil Ciancang sedangkan dua buah sumur batu berada di Dusun
Bojongnangoh yang sekarang di manfaatkan warga untuk keperluan sehari – hari
masyarakat.
Peninggalan
– peninggalan Kerajaan Ciancang hanya benda – benda pusaka dan sumur batu.
Berbeda dengan Galuh Kertabumi
meninggalkan tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat sekitar,
yaitu Tradisi Merlawuh, adalah tradisi persembahan do’a kepada tuhan dengan
menyajikan berbagai makanan dari sejenis air dan beras yang dilakukan di sekitar
makam yang disinyalir sebagai makam pendiri Galuh Kertabumi. Hal ini dapat
dipahami karena daerah Ciancang sudah
terpengaruhi Islam dari Mataram dan Cirebon yang sangat kuat. Fakta ini dapat
diperkuat dengan para pemimpinnya yang bergelar Kyai seperti Kyai Mas Jalipan.
Kyai Mas Jalipan adalah seorang panglima perang Ciancang berdarah dari keluarga
Agamawan salih masih berdarah Cirebon. Ajaran Islam di Ciancang atau Utama
masih melekat kuat di masyarakat setempat sampai sekarang, bahkan di tatar Galuh
Ciamis daerah Utama terkenal dengan sebutan daerah pesantren
Adapun
langkah – langkah pelestarian yang dilakukan selama ini adalah dengan
pemeliharan benda pusaka, partisipasi masyarakat dan pemerintahan daerah.
Pencarian
dan penulusuran benda – benda pusaka peninggalan Ciancang adalah salah satu
upaya yang dilakukan oleh salah seorang warga yang mengaku keturunan Bupati
Ciancang. Beliau mencari bahkan membeli benda – benda pusaka yang berserakan di
masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat luar Desa Utama bukan
masyarakat desa asli Utama. Hal ini terjadi karena tingkat kesadaran dan
pengetahuan akan sejarah desanya sendiri sangatlah kurang.
Ciancang
merupakan daerah kabupaten di masa Kerajaan Mataram dan masa VOC. Nama Ciancang
di rubah menjadi Utama pada masa VOC
karena ada penyerangan dari pasukan wetan. Pusat pemerintahan Ciancang berada
di perbukitan antara perbatasan Desa Utama dengan Desa Sukamaju. Hal ini dapat
di pahami karena pusat pemerintahan Ciancang di batasi dengan sungai dan parit
tujuannya adalah agar dapat menghalau
serangan musuh
Pemeliharaan
benda pusaka maupun situs Ciancang seyogyanya mayarakat harus ikut
berpartisipasi. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang tinggal dan hidup
dalam status sosial yang berbeda dengan tertib. Adapun yang menjadi objek
amatan atau objek penelitian ini adalah sekelompok masyarakat yang mencintai
akan sejarahnya Ciancang. Partisipasi masyarakat setempat sangatlah di
butuhkan karena bisa menjadi objek
wisata yang bisa membuka peluang pendapatan perekonomian . Untuk itu masyarakat
harus ikut serta dalam melestarikan peninggalan – peninggalan Ciancang. Pada umumnya masyarakat
tidak mengetahui akan sejarahnya desa sendiri. Adanya Desa Utama tidak lepas
dari sejarahnya. Sejarah bukan hanya untuk diceritakan namun dapat dijadikan
cerminan bagi kehidupan masa yang akan datang. Berbicara Kerajaan Ciancang atau
Kabupaten Ciancang berarti berbicara tragedi di Ciancang lazim disebut dengan
Bedah Ciancang dan Banjir darah di Ciancang. Ironisnya Sebagian
masyarakat Desa Utama tidak mengetahui akan tragedi ini. Jika masyarakat ingin
mengetahui sejarah desanya secara otomatis mereka akan bertanya – tanya
mengenai peninggalan – peninggalan leluhurnya sehingga tertanam pada diri
mereka rasa kebanggaan menjadi warga Desa Utama dan tertanam keinginan untuk
memelihara peninggalan – peniggalan yang sudah ditemukan sebagai contoh sumur
batu yang berada di dusun Bojongnangoh Desa Utama Kecamatan Cijeunjing. Dengan
kata lain masyarakat acuh tak acuh kepada saksi bisu akan perjalanan Kerajaan
Ciancang
Selain
itu di kalangan masyarakat awam nama Ciancang identik dengan makam para bupati
beserta keluarganya yang berada di Gunung Jati tepatnya di dusun Cibereum Desa
Utama Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Gunung Jati ini masih ada
kaitanya dengan Gunung Jati di Cirebon. Gunung Jati di Ciamis adalah tempat
menyimpan barang – barang, seperti keris, pedang dan sejumlah uang logam namun
terkubur di Gunung Jati. Sedangkan Gunung Jati di Cirebon adalah tempat untuk ziarah.
Area makam keluaraga itu di kelilingi oleh pesawahan dan kerap digunakan
sebagai tempat keramat oleh masyarakat luar Desa Utama. Ada larangan yang
mengandung mitos bagi masyarakat sekitar yaitu, tidak boleh membawa atau
menebang kayu di Gunung Jati, apabila sampai terjadi maka kayu itu akan meminta
untuk di kembalikan ke tempat semula.
Mengingat
begitu dangkalnya akan pengetahuan sejarah wilayahnya sendiri menjadi
kehawatiran penulis, jangan – jangan sejarahnya Ciancang akan punah begitu
saja. Oleh sebab itu penulis melanjutkan wawancara ke masyarakat lain yang
dinilai sebagai orang yang menelusuri sejarahnya Ciancang. Namun fakta yang diperoleh tidak jauh berbeda
dengan yang sebelumnya. Ia mengatakan bahwa peninggalan Ciancang berserakan
dimana – mana tersebar di seluruh masyarakat luar daerah bukan masyarakat dalam
daerah Utama.
Berdasarakan
beberapa pendapat maka penulis menyimpulkan bahwa bagi kalangan masyarakat baik
mayarakat biasa maupun masyarakat pegawai negeri, diketahui bahwa upaya
pelestarian peninggalan – peninggalan kerajaan kecil Ciancang dari Masyarakat masihkurangdalampelestariannya,
masyarakathanyamengabadikannama Ciancang dalam organisasi kepemudaan yaitu,
organisasi Karang taruna Ciancang. Bahkan mereka mengatakan bahwa pemerintah yang harus memelihara dan
melestariakn peninggalan Ciancang, bukan masyarakat. Masyarakat juga
menyinggung tentang pemeliharaan dua buah sumur batu peninggalan Ciancang yang kurang
pemeliharaannya. Padahal dua sumur batu itu sangat bermanfaat bagi masyarakat
baik dari bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Pemerintahan
daerah juga seharusnya ikut melestrikan peninggalan Ciancang karena
pemerintahan daerah merupakan pelindung dan pengayom masyarakat, pemerintah
daerah seharusnya mampu mejadi pelindung benda cagar budaya yang bersifat
lokal. Peranan pemerintah daerah dan pusat sangat dibutuhkan karena secara kelembagaan pemerintah desa bisa
bekerja sama dengan Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Ciamis. selain itu
pemerintahhan daerah Desa Utama pada masa Agus Nurulsyam, S.ip., Ms,i sekarang
ini masih menelusuri peninggalan – peninggalan dan sejarahnya Ciancang. Guna memelihara peninggalan – peninggalan
leluhurnya supaya bisa di nikmati oleh generasi mereka.
untuk