Pages

Friday, 16 December 2016

Sejarah Galuh Ciamis

Sejarah Kerajaan Galuh (Ciamis)
Oleh : Muhamad Sajidin

Pengantar

      Daerah Galuh yang sekarang bernama Ciamis memiliki perjalanan sejarah sangat panjang. Hal itu terbukti dari periodisasi yang dilewatinya, yaitu masa pra-sejarah, masa kerajaan (abad ke-8 – abad ke-16), masa kekuasaan Mataram, kekuasaan Kompeni, dan Belanda/Hindia Belanda (akhir abad ke-16 – awal tahun 1942), masa pendudukan Jepang (awal tahun 1942 – 15 Agustus 1945), dan masa kemerdekaan (17 Agustus 1945 – sekarang). Perjalanan sejarah Galuh yang panjang itu sampai sekarang masih belum terungkap secara komprehensip, bahkan beberapa bagian/episode sejarah Galuh masih “gelap”. Selain itu, sejarah Galuh masa kerajaan masih banyak bercampur dengan mitos atau legenda, sehingga ceritera tentang Galuh masa kerajaan pun terdapat beberapa versi.

    Belum adanya penulisan sejarah Galuh yang komprehensip kiranya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Pemda Kabupaten Ciamis terkesan kurang menaruh perhatian terhadap sejarah daerahnya sendiri. Kedua, kurangnya sejarawan yang berminat untuk mengungkap sejarah Galuh, antara lain karena kegiatan itu memerlukan biaya cukup besar untuk mencari dan meneliti sumbernya. Sekalipun sudah ada hasil penelitian sejarah Galuh, tetapi uraiannya hanya berupa garis besar mengenai aspek atau kurun waktu tertentu.
Sejarah bukan hanya memiliki fungsi informatif, tetapi juga fungsi edukatif, bahkan sesungguhnya memiliki fungsi pragmatik, khususnya bagi pemda daerah setempat. Hal itu disebabkan sejarah adalah suatu proses kausalitas yang ber-kesinambungan. Kehidupan masa kini adalah hasil kehidupan masa lampau, dan kehidupan masa mendatang akan tergantung dari sikap kita dalam mengisi kehidupan masa sekarang. Oleh sebab itu kita harus pandai belajar dari sejarah, karena sejarah adalah “obor kebenaran” dan “obor” agar kita tidak “pareumeun obor”.

       Atas dasar hal tersebut, seyogyanya bila Pemda Kabupaten Ciamis dan “Wargi Galuh” menaruh perhatian terhadap sejarah Galuh, antara lain agar kita benar-benar memahami bagaimana jati diri putera Galuh :

1. Asal-Usul dan Arti Kata Galuh

     “Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang berarti sejenis batu permata. Kata “galuh” juga biasa digunakan sebagai sebutan bagi ratu yang belum menikah (“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der Meulen berpendapat bahwa kata “galuh” berasal dari kata “sakaloh” yang berarti “asalnya dari sungai”. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa kata “galuh” berasal dari kata “galeuh” dalam arti inti atau bagian tengah batang kayu yang paling keras. Pengertian mana yang tepat dari kata “galuh” untuk daerah yang sekarang bernama Ciamis? Hal itu memerlukan kajian secara khusus dan mendalam.

2. Galuh Masa Kerajaan

      Galuh memang pernah menjadi sebuah kerajaan. Akan tetapi ceritera tentang Kerajaan Galuh, terutama pada bagian awal, penuh dengan mitos. Hal itu disebabkan ceritera itu berasal dari sumber sekunder berupa naskah yang ditulis jauh setelah Kerajaan Galuh lenyap. Misalnya, Wawacan Sajarah Galuh antara lain menceriterakan bahwa Kerajaan Galuh berlokasi di Lakbok dan pertama kali diperintah oleh Ratu Galuh. Setelah banjir besar yang dialami oleh Nabi Nuh surut, pusat Kerajaan Galuh pindah ke Karangkamulyan dan nama kerajaan berganti menjadi Bojonggaluh. Dikisahkan pula putera Ratu Galuh, yaitu Ciung Wanara berselisih dengan saudaranya Hariang Banga. Perselisihan itu berakhir dengan permufakatan, bahwa kekuasaan atas Pulau Jawa akan dibagi dua. Ciung Wanara berkuasa di Pajajaran dan Hariang Banga menguasasi Majapahit. Selama belum ada sumber atau fakta kuat yang mendukungnya, kisah seperti itu adalah mitos (Bagi guru sejarah, ceritera yang bersifat mitos boleh-boleh saja disampaikan kepada para siswa, dengan catatan harus benar-benar ditegaskan, bahwa ceritera itu adalah mitos yang kebenarannya sulit di pertanggung jawabkan).

         Ceritera tentang Kerajaan Galuh yang dapat dipercaya adalah berita dalam sumber primer berupa prasasti, naskah sejaman (ditulis pada jamannya atau tidak jauh dari peristiwa yang diceriterakannya), dan sumber lain yang akurat. Menurut sumber-sumber tersebut, Galuh sebagai nama satu daerah di Jawa Barat—Dalam Peta Pulau Jawa, kata “galuh” digunakan pula menjadi bagian nama atau bagian nama beberapa tempat, seperti Galuh (Purbalingga), Rajagaluh (Majalengka), Sirah Galuh (Cilacap), Galuh Timur (Bumiayu), Segaluh dan Sungai Begaluh (Leksono), Samigaluh (Purworejo), dan Hujung (Ujung) Galuh di Jawa Timur) muncul dalam panggung sejarah pada abad ke-8. Setelah Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 s.d. abad ke-7) berakhir, di daerah Jawa Barat berdiri Kerajaan Sunda (abad. ke-8 s.d. abad ke-16). Pusat kerajaan itu berpindah-pindah, dari Galuh pindah ke Pakuan Pajajaran/Bogor (± abad ke-11 s.d abad ke-13), kemudian pindah lagi ke Kawali (abad ke-14). Selanjutnya kerajaan itu kembali berpusat di Pakuan Pajajaran, sehingga lebih dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.

           Nama kerajaan seringkali berubah dengan sebutan nama ibukotanya. Oleh karena itu, tidak heran bila ketika Kerajaan Sunda beribukota di Galuh, kerajaan itu disebut juga Kerajaan Galuh. Diduga pusat/daerah inti Galuh waktu itu adalah Imbanagara sekarang. Raja terkenal yang berkuasa di Galuh adalah Sanjaya. Ketika kerajaan itu berpusat di Kawali (abad ke-14) diperintah oleh Prabu Maharaja (di kalangan masyarakat setempat, raja ini dikenal dengan nama Maharaja Kawali). Pada masa pemerintahan raja itulah agama Islam masuk ke Kawali dari Cirebon antara tahun 1528-1530.

            Ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah oleh Nusiya Mulya (paruh kedua abad ke-16), eksistensi kerajaan itu berakhir akibat gerakan kekuatan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan agama Islam. Peristiwa itu terjadi tahun 1579/1580. Sejak itu Pakuan Pajajaran berada di bawah kekuasaan Banten.

            Setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran berakhir, Galuh berdiri sendiri sebagai ke-rajaan merdeka (1579/1580 – 1595). Sementara itu, berdiri pula Kerajaan Sumedang Larang (± 1580-1620) dengan ibukota Kutamaya. Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu (Maharaja) Cipta Sanghiang di Galuh, putera Prabu Haurkuning. Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang batas sebelah utara, Galunggung dan Sukapura batas sebelah barat, Sungai Cijulang batas sebelah selatan, dan Sungai Citanduy batas sebelah timur. Perlu disebutkan bahwa daerah Majenang, Dayeuhluhur, dan Pegadingan yang sekarang masuk wilayah Jawa Tengah, semula termasuk wilayah Galuh. Di tempat-tempat tersebut sampai sekarang pun masih terdapat orang-orang berbahasa Sunda.

3. Galuh di bawah kekuasaan Mataram

      Di bawah kekuasaan Mataram, daerah-daerah di Priangan yang semula berstatus kerajaan berubah menjadi kabupaten. Galuh berada di bawah kekuasaan Mataram antara tahun 1595-1705. Galuh pertama kali jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, ketika Mataram diperintah oleh Sutawijaya alias Panembahan Senopati (1586-1601). Oleh penguasa Mataram, Galuh dimasukkan ke dalam wilayah administratif Cirebon. Setelah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh meninggal, ia digantikan oleh puteranya bernama Ujang Ngekel bergelar Prabu Galuh Cipta Permana (1610-1618), berkedudukan di Garatengah (daerah sekitar Cineam, sekarang masuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya). Prabu Galuh Cipta Permana yang telah masuk Islam (semula beragama Hindu) menikah dengan puteri Maharaja Kawali bernama Tanduran di Anjung. Selain Garatengah, di wilayah Galuh terdapat pusat-pusat kekuasaan, dikepalai oleh seseorang yang ber-kedudukan sebagai bupati dalam arti raja kecil. Pusat-pusat kekuasaan itu antara lain Cibatu, Utama (Ciancang), Kertabumi (Bojong Lopang), dan Imbanagara.

      Mataram menguasai Galuh kemudian Sumedang Larang (1620) dalam usaha menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanan di bagian barat dalam menghadapi kemungkinan serangan pasukan Banten dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia. Kekuasaan Mataram di Galuh lebih tampak ketika Mataram diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645) dan Galuh diperintah oleh Adipati Panaekan (1618-1625), putera Prabu Galuh CiptaPermana, selaku Bupati Wedana. Penguasaan Mataram terhadap Galuh dan Sumedang Larang sifatnya berbeda. Galuh dikuasai oleh Mataram melalui cara kekerasan, karena pihak Galuh melakukan perlawanan. Sebaliknya, Sumedang Larang jatuh ke bawah kekuasaan Mataram karena berserah diri, antara lain karena adanya hubungan keluarga antara Raden Aria Suriadiwangsa penguasa Sumdang Larang dengan penguasa Mataram.

      Tahun 1628 Mataram merencanakan penyerangan terhadap Kompeni di Batavia dan meminta bantuan para kepala daerah di Priangan. Ternyata rencana itu me-nimbulkan perbedaan pendapat yang berujung menjadi perselisihan di antara para kepada daerah di Priangan. Dalam hal ini, Adipati Panaekan berselisih dengan adik iparnya, yaitu Dipati Kertabumi, Bupati Bojonglopang, putera Prabu Dimuntur. Dalam perselisihan itu Adipati Panaekan terbunuh (1625). Ia digantikan oleh puteranya bernama Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di Garatengah (Cineam). Pada masa pemerintahan Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan dari Garatengah (Cineam) ke Calincing. Tidak lama kemudian pindah lagi ke Bendanegara (Panyingkiran).

        Ketika pasukan Mataram menyerang Batavia (1628), kepala daerah di Priangan memberikan bantuan. Pasukan Galuh dipimpin oleh Bagus Sutapura, pasukan Priangan dipimpin oleh Dipati Ukur, Bupati Wedana Priangan. Dipati Ukur memang mendapat tugas khusus dari Sultan Agung untuk mengusir Kompeni dari Batavia. Ternyata Dipati Ukur gagal melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, ia memberontak terhadap Mataram.

      Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan faktor penting yang mendorong Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh Bagus Sutapura. Khusus kepala-kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus Sutapura dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen—Kepala daerah lain yang diangkat menjadi bupati antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang dengan gelar Tumenggung Tanubaya.) (daerah antara Banjarsari – Padaherang). Ia memrintah Kawasen sampai dengan 1653, kemudian digantikan oleh puteranya bernama Tumenggung Sutanangga (1653-1676). Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). 

      Namun puteranya, yaitu Adipati Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.

      Pertengahan tahun 1642 Adipati Jayanagara memindahkan lagi ibukota Kabupaten Galuh ke Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Pemindahan ibukota kabupaten yang terjadi tanggal 14 Mulud tahun He (12 Juni 1642—Sejak tahun 1970-an, Pemda Kabupaten Ciamis menganggap tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis. Mengenai Hari Jadi Ciamis, dibicarakan pada akhir tulisan ini). itu dilandasi oleh dua alasan. Pertama, Garatengah dan Bendanegara memberi kenangan buruk dengan ter-bunuhnya Adipati Panaekan dan Dipati Imbanagara. Kedua, Barunay dianggap lebih cocok menjadi pusat pemerintahan dan akan membawa perkembangan bagi kabupaten tersebut. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh masa pemerintahan Adipati Jayanagara yang berlangsung selama 42 tahun. Selama waktu itu, daerah-daerah kekuasaan lain, yaitu Kawasen, Kertabumi, Utama, Kawali, dan Panjalu dihapuskan. Semua daerah itu menjadi wilayah Kabupaten Galuh. Dengan demikian, Kabupaten Galuh memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu dari Cijolang sampai ke pantai selatan dan dari Citanduy sampai perbatasan Sukapura.

      Setelah Adipati Jayanagara meninggal, kedudukannya sebagai bupati digantikan oleh Anggapraja. Akan tetapi tidak lama kemudian jabatan itu diserahkan kepada adiknya bernama Angganaya. Sementara itu, daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang, dikepalai oleh Wirabaya. Dipati Kertabumi yang semula memerintah Bojonglopang, dipindahkan ke Karawang dan menjadi cikal-bakal bupati Karawang.

       Tahun 1645 setelah Sultan Agung meninggal, Amangkurat I putera Sultan Agung kembali melakukan reorganisasi wilayah Priangan. Wilayah itu dibagi menjadi beberapa daerah ajeg (setarap kabupaten), antara lain Sumedang, Bandung, Parakan-muncang, Sukapura, Imbanagara, Kawasen, Galuh, dan Banjar.

4. Galuh di bawah kekuasaan Kompeni (VOC/Verenigde Oost-Indische Compagnie, yaitu Perkumpulan Perseroan Belanda di Hindia Timur),

      Akhir tahun 1705 Galuh sebagai bagian dari wilayah Priangan timur diserahkan oleh penguasa Mataram kepada Kompeni melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705. Wilayah Priangan barat jatuh ke dalam kekuasaan Kompeni lebih dahulu, yaitu tahun 1677—Sejak tahun 1677 di wilayah Priangan memberlakukan penanaman wajib, terutama kopi dan nila (tarum) dalam sistem yang disebut Preangerstelsel). Mataram menyerahkan Priangan kepada Kompeni sebagai upah membantu mengatasi kemelut perebutan tahta Mataram—kompeni membantu Pangeran Puger dalam usaha merebut tahta Mataram dari keponakannya, yaitu Amangkurat III alias Sunan Mas). Namun demikian, Galuh dan daerah Priangan timur lainnya tetap berada dalam wilayah administratif Cirebon.


       Sebelum terjadinya perjanjian 5 Oktober 1705, Kompeni sudah mengangkat Sutadinata menjadi Bupati Galuh (1693-1706) menggantikan Angganaya yang meninggal. Ia kemudian diganti oleh Kusumadinata I (1706-1727). Waktu itu Priangan berada di bawah pengawasan langsung Pangeran Aria Cirebon sebagai wakil Kompeni.

       Beberapa waktu kemudian, Bupati Kawasen Sutanangga diganti oleh Patih Ciamis yang dianggap orang ningrat tertua dan terpandai di Galuh. Daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang.

       Bupati Galuh berikutnya adalah Kusumadinata II (1727-1732). Oleh karena ia tidak memiliki putera, maka setelah ia meninggal kedudukannya digantikan oleh keponakannya bernama Mas Garuda, sekalipun keponakannya itu belum dewasa. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan oleh tiga orang wali, seorang di antaranya adalah ayah Mas Garuda sendiri, yaitu Raden Jayabaya Patih Imbanagara. Mas Garuda baru memegang pemerintahan sendiri mulai tahun 1751 hingga tahun 1801, dengan gelar Kusumadinata III. Ia digantikan oleh Raden Adipati Natadikusuma (1801-1806).

       Pada masa peralihan kekuasaan dari Kompeni kepada Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten Imbanagara dihapuskan. Daerah itu digabungkan dengan Galuh dan Utama. Ketiga daerah itu diperintah oleh Bupati Galuh. Menurut sumber tradisional (Wawacan Sajarah Galuh), peristiwa itu terjadi akibat konflik antara Raden Adipati Natadikusuma dengan seorang pejabat VOC yang bersikap dan bertindak kasar. Raden Adipati Natadikusuma ditahan di Cirebon. Kedudukannya sebagai Bupati Imbanagara diganti oleh Surapraja dari Limbangan (1806-1811).

      Di bawah kekuasaan Kompeni, sistem pemerintahan tradisional yang dilakukan para bupati pada dasarnya tidak diganggu. Hal itu berlangsung pula pada masa pemerintahan Hindia Belanda (1808-1942).

5. Galuh Masa Pemerintahan Hindia Belanda

      Akhir Desember 1799 kekuasaan Kompeni berakhir akibat VOC bangkrut. Kekuasaan di Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai oleh pemerintahan Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811). Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, Galuh tetap berada dalam wilayah administratif Cirebon.

      Pada akhir masa pemerintahan Daendels, Bupati Imbanagara Surapraja meninggal (1811). Bupati Imbanagara selanjutnya dijabat oleh Jayengpati Kertanegara, merangkap sebagai Bupati Cibatu (Ciamis). Setelah pensiun, ia digantikan oleh Tumenggung Natanagara. Penggantinya adalah Pangeran Sutajaya asal Cirebon. Oleh karena selalu berselisih paham dengan patihnya, Pangeran Sutajaya kembali ke Cirebon. Jabatan Bupati Imbanagara kembali dipegang oleh putera Galuh, yaitu Wiradikusuma, dan nama kabupaten ditetapkan menjadi Kabupaten Galuh. Tahun 1815 Bupati Wiradikusuma memindahkan ibukota kabupaten dari Imbanara ke Ciamis.

        Pada masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Adipati Adikusumah (1819-1839), putera Bupati Wiradikusuma, Kawali dan Panjalu dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Galuh. Bupati Adipati Adikusumah menikah dengan puteri Jayengpati (Bupati Cibatu). Dari perkawinan itu kemudian lahir seorang anak laki-laki bernama Kusumadinata. Ia kemudian menggantikan ayahnya menjadi Bupati Galuh (1839-1886) dengan gelar Tumenggung Kusumadinata. Selanjutnya ia berganti nama menjadi Raden Adipati Aria Kusumadiningrat. Ia adalah Bupati Galuh terkemuka yang dikenal dengan julukan “Kangjeng Prebu”.

        Sejak tahun 1853, Bupati R.A.A. Kusumadiningrat tinggal di Keraton Sela-gangga yang dilengkapi oleh sebuah masjid dan kolam air mancur. Tahun 1872 di halaman keraton dibangun tempat pemandian yang disebut Jambansari—Pemandian itu sering digunakan oleh warga masyarakat dengan maksud “ngalap berkah” dari “Kangjeng Prebu”). Antara tahun 1859-1877, dibangun beberapa gedung di pusat kota kabupaten (Ciamis). Gedung-gedung dimaksud adalah gedung kabupaten yang cukup megah (di lokasi Gedung DRPD sekarang), Masjid Agung, Kantor Asisten Residen (gedung kabupaten sekarang), tangsi militer, penjara, kantor telepon, rumah kontrolir, dan lain-lain.

        Bupati R.A.A. Kusumadiningrat sangat besar jasanya dalam memajukan ke-hidupan rakyat Kabupaten Galuh. Jasa-jasa itu antara lain membuat sejumlah irigasi, membuka sawah beribu-ribu bau, mendirikan tiga buah pabrik penggilingan kopi, membuka perkebunan kelapa, membangun jalan antara Kawali – Panjalu, mendirikan “Sakola Sunda” di Ciamis (1862) dan di Kawali (1876). Atas jasa-jasa tersebut, ia memperoleh tanda kehormatan atau atribut kebesaran dari Pemerintah Hindia Belanda berupa Songsong Kuning (payung kebesaran berwarna kuning mas) tahun 1874) dan bintang Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw (“Bintang Leo”) tahun 1878).

        Jabatan Bupati Galuh selanjutnya diwariskan kepada puteranya, yaitu R.A.A. Kusumasubrata (1886-1914). Pada masa pemerintahan bupati ini, mulai tahun 1911 Ciamis dilalui oleh jalan kereta api jalur Bandung – Cilacap.via Ciawi-Malangbong-Tasikmalaya. Pada masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Bupati R.T.A. 

        Sastrawinata (1914-1935), Kabupaten Galuh dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon dan masuk ke dalam wilayah Keresidenan Priangan (tahun 1915). Nama Kabupaten diubah menjadi Kabupaten Ciamis. Antara tahun 1926-1942, Ciamis masuk ke dalam Afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Tasikmalaya dan Garut, dengan ibukota afdeeling di kota Tasikmalaya.

6. Hari Jadi Kabupaten Ciamis

        Telah dikemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Adipati Jayanagara ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan ke Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Peristiwa itu terjadi tanggal 14 Mulud tahun He atau tanggal 12 Juni 1642 Masehi. Sekarang tanggal 12 Juni 1642 dipilih dan ditetapkan oleh Pemda Kabupaten Ciamis sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis. Alasan atau dasar pertimbangannya adalah kepindahan ibukota kabupaten itu membawa perkembangan bagi Kabupaten Galuh. Sejak itulah Kabupaten Galuh mulai menunjukkan perkembangan yang berarti.

Tepatkah pemilihan tanggal tersebut?

          Bila dikaji secara objektif dan kritis, menurut penulis, pemilihan tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis atau Hari Jadi Kabupaten Galuh sekalipun adalah keliru atau kurang tepat. Pertama, bagi orang yang tidak memahami sejarah Galuh, pemilihan tanggal tersebut akan mengandung arti bahwa Kabupaten Galuh berdiri pada tanggal 12 Juni 1642, padahal jauh sebelum tanggal itu Kabupaten Galuh sudah berdiri. Kedua, Kabupaten Galuh berubah namanya menjadi Kabupaten Ciamis terjadi pada dekade kedua abad ke-20 (1915), setelah Galuh dilepaskan dari wilayah administratif Cirebon.

           Atas dasar hal tersebut dan untuk kebenaran sejarah, seyogyanya hari jadi Kabupaten Ciamis dikaji ulang. Menurut penulis, hari jadi Kabupaten Ciamis seharusnya mengacu pada momentum awal berdirinya kabupaten itu, atau mengacu pada tanggal perubahan nama kabupaten dari Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.


http://galuhsunda.blogspot.co.id/2016/12/identitas-diri.html
https://draft.blogger.com/blogger.g?blogID=3476134451812591024#allposts/src=sidebar
http://trtem1.blogspot.co.id/2012/09/makalah-perakitam-sebuah-komputer-bab-i.html
http://keagamaanislamindonesia.blogspot.co.id/2016/01/makalah-wakaf.html
http://microsoftajid.blogspot.co.id/2016/02/outercircletext-font-style-italicfont.html

Thursday, 15 December 2016

Identitas Diri

BIODATA DIRI



Nama                          : Muhamad Sajidin
Tanggal Lahir              : Jum’at . 06.Desember.1997
Sekolah                       : SMA INFORMATIKA CIAMIS
Kelas                           : XI IPA 3
Alamat                        : jln.UTAMA II. Dsn Kulon. Ds Utama. Rt/Rw 010/004 Desa               Utama.
Hobi                            : Semua kegiatan yang saya kerjakan adalah hobi saya.

Blog ini menceritakan tentang sejarah sejarah yang ada di indonesia. Dengan in saya bangga dengan membuat blog ini saya dapat pengetahuan yang lebih dan tadinya belum tau menjadi tau di blog tersebut itu saya buat ada yang asli dari sejarah daerah saya sendiri makannya saya buat blog ini untuk berbagi kepada bloger bloger semua..


Sunday, 31 January 2016

CIANCANG DAN GUNUNG DJATI DESA UTAMA




                                                KI EMUH KUNCEN GUNUNG DJATI DESA UTAMA
 

A.      Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Ciancang
Kerajaan kecil Ciancang yang setara dengan Kabupaten di Priangan di bawah kekuasan Kerajaan Mataram berawal dari Kerajaan Galuh Kertabumi yang didirikan oleh  Raja Galuh Maharaja Sanghiyang Cipta yang berkedudukan di Salawe Cimaragas. Selanjutnya putri raja Galuh yang bernama Tanduran Ageung menikah dengan Rangga Permana putra Prabu Gesan Ulun Raja Sumedang Larang. Setelah menikah diberi hadiah daerah Muntur ditepi sungai Cimuntur maka berdirilah kerajaan Galuh Kertabumi.  Kertabumi yang berpindah – pindah ke Pataruman di daerah Banjar pada tahun  1608 – 1618  oleh  Dalem  Wiraperbangsa atau Rd. Ad singaperbangsa I,  kemudian berpindah lagi oleh Adipati Singaperbangsa II ke Liunggunung pada tahun 1630 – 1641 M. Tidak sampai di situ, pusat pemerintahan berpindah lagi ke Bojong Lompang oleh Singaperbangsa III atau Dalem Pagergunung pada tahun 1641 – 1654 M. Dan sekali lagi berpindah ke Ciancang pada tahun 1655 M oleh Adipati Panatuyuda I atau Wiraperbangsa IV. Alasan perpindahan itu dikarenakan atas dasar rekomendasi  keluarganya yang berkeinginan mendekati leluhurnya yaitu Prabu Dimuntur. Selanjutnya berpindah lagi ke Ciancang karena wilayah Ciancang di anggap sangat strategis dekat dengan pemerintahan pusat 
 
Di bawah kekuasan Mataram, para bupati di priangan berkuasa seperti raja. Kehidupan mereka mirip dengan kehidupan raja – raja dalam ukuran lebih kecil. Setiap raja kecil ini atau biasa disebut bupati ini memiliki simbol – simbol kebesaran, seperti songsong ( payung kebesaran ), pakian kebesaran, senjata pusaka, kandaga ( kotak perangkat kebesaran upacara ), kuda tunggang, dan lain – lain. Mereka juga memiliki pengawal Khusus dan bersenjata. Atas dasar itu, dalam pandangan rakyat, bupati memilki otoritas penuh, baik sebagai kepala daerah maupun sebagai pemimpin tradisioanal. Hal ini berarti bupati di priangan seolah – olah berfungsi dan berperan sebagai wakil penguasa Mataram atau raja kecil tetapi masih di bawah kekuasaan Mataram.
Kedudukan dan kekuasan bupati diperkuat lagi oleh hak istimewa bupati untuk mewariskan jabatan. Salah satu bukti bahwa bupati di priangan mendapatkan hak mewariskan jabatan dan kekuasan penuh atas dasar daerahnya adalah Piagam Sultan Agung yang bertiti mangsa 9 Muharam tahun Jim Akhir yang diberikan kepada Bupati Surakarta. Dalam piagam itu antara lain disebutkan hak bupati untuk meguasai daerah hingga tujuh turunan.Selain mendapatkan hak untuk mewariskan jabatan, raja kecil ini juga memperoleh hak untuk memungut pajak berupa uang, tenaga kerja ( ngawula ), berburu, menangkap ikan, dan mengadili kecuali hukuman pidana mati.
Tinggi rendahnya kedudukan bupati dalam pemerintahan dapat diketahui dari gelar kepangkatan yang disandangnya. Hiererarki ke pangkatan bupati dari bawah ke atas adalah: tumenggung-aria-adipati-pangeran.Gelartumenggung diperoleh secara langsung pada waktu diangkat menjadi bupati, sedangkan gelar aria, adipati, diperoleh karena kondite yang baik dan telah menunjukan jasa yang pantas dihargai. Selain memiliki gelar kepangkatan, bupati di priangan juga memiliki gelar kepriyaian, yaitu raden.
Menurut keterangan yang didapatkan penulis dari berbagai sumber , Daerah Ciancang pernah di serang oleh para penjarah atau lazim disebut dengan nama Pasukan Wetan sebanyak tiga kali. Pada waktu itu penjarah dari Banyumas sekitar 2.000 orang menyerang Ciancang yang mengakibatkan banjir darah. tempat kejadian perkara tersebut di duga  berada di dusun Cibeureum desa Utama ( Ciancang ) kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Penyerangan dilakukan tiga kali, yaitu :
  1. Pada masa pemerintahan Ny. Rd. Ayu Rajakusumanagara / Dalem Isrtri ( 1718 – 1736 M  ).
  2. Pada masa Dalem Adipati Jayakusu Manggala / R.d. Tum. Wiramnatri II ( 1736 – 1762  M  ).
  3. Pada masa Dalem Adipati Surianagara / R.d Tumenggung Wiramantri IV ( 1787 – 1789 M ).
Pada saat terjadinya penyerangan Ny. Rd. Tejakusuma di duga lari menghindari serangan yang dilakukan oleh penjarah dari Banyumas itu. Beliau selamat dan mempunyai keturunan.
Atas dasar penyerangan itu pada masa Kyai Mas Jalipan / panembahan Warganala IV, nama Ciancang di hapuskan dan diganti menjadi Utama dengan perhitungan mundur dari bilangan Nista ( tiga ), Maja ( dua ), dan Utama ( satu ).
B.       Hubungan  Kerajaan Ciancang Dengan Kerajaan Galuh
Ciancang di dirikan pada tahun 1655 oleh  Dalem Wirasuta atau Wiraperbangsa VI  yang bergelar Adipati Panatayuda I perpindahan dari Kertabumi. Beliau mahir bela diri sehingga  mendapat julukan Mas Galak. Beliau menjadi bupati Ciancang selama tiga tahun karena mendapat tugas menjadi bupati Karawang dan membasmi para penjahat  yang sering mengganggu ketertiban wilayah Mataram sebelah barat. Ketika beliau menjadi bupati Karawang kekuasaan Ciancang di pegang oleh anak bungsunya yaitu Candramerta. Wirasuta adalah putra dari Apun Pagergunung ( bupati Kertabumi IV ) beristeri Nyai Ajeng Asrinagara, puteri Dalem Jangpati Jangbaya. Apun Pagergunung ( bupati Kertabumi IV ) ayahnya adalah Apun Tambakbaya  ( Bupati Kertabumi V ). Sang Raja Cita ( Adipati Kertabumi I ) adalah ayah dari Apun Tambakbaya. Silsilah ini sampai pada Prabu Dimuntur pendiri Kerajaan Galuh Kertabumi. Bila ditelusuri lebih jauh Ciancang adalah tetesan dari darah  Prabu Dimuntur atau Pangeran Rangga Permana. Pendiri Kerajaan Galuh Kertabumi ini adalah putra dari Prabu Geusan Ulun ( Sumedang Larang ). Kerajaan Sunda runtuh akibat serangan Maulana Yusuf dari Banten, Maharaja Sanghiyang Cipta Di Galuh tampil penguasa Kerajaan Galuh yang berdiri sendiri dan bertahan hingga 1595 Pusat kekuasaannya terletak di sekitar Cimaragas.
Maharaja Sanghiyang Cipta Permana Di Galuh merupakan Raja Galuh terakhir yang beragama Hindu dan setelah meninggal jasadnya dilarung diCiputraPinggan.Maharaja Sanghiyang Cipta Di Galuh memiliki tiga orang putra, yaitu Tanduran Ageung (Gayang) di Kertabumi; Cipta Permana (di Galuh Gara Tengah); Sanghiyang Permana (di Kawasen).Prabu Cipta Permana masuk Islam karena beliau menikah dengan Tanduran Tanjung Putri Maharaja Mahadikusumah ( Tanduran Di Anjung ) penguasa Kawali yang bergama Islam, karena Kawali mulai tahun 1570 M sudah dibawah kekuasaan Cirebon.



                       Bupati Kertabumi I
1.        Sang Raja Cita ( 1602 – 1608 ) Bupati Kertabumi II
2.        Singa Perbangsa I  ( 1608 – 1618 ) Bupati Kertabumi III
3.        Singa Perbangsa II ( 1630 – 1641 )  Bupati Kertabumi IV
4.        Singa Perbangsa III ( 1641 – 1654 ) Bupati Kertabumi V
5.        Singa Perbangsa IV ( 1654 – 1656 )  Bupati Kertabumi VI
( Memindahkan dari  Bojong Lompang   ke Ciancang )

BUPATI  CIANCANG
1.        Dalem Apun Candramerta / Rd. Tumenggung Candramerta ( 1656 – 1658  M )
2.        Dalem Demang Sutabaya / Rd Adipati Singanagara ( 1658 – 1675 M )
3.        Dalem Wiranagara / Rd. Tumenggung Warganata ( 1675 – 1683  M )
4.        Dalem Apun Puspanagara / Rd. Tumenggung Jiranagara ( 1683 – 1685 M )
5.        Pangeran Warganagala I ( 1685 – 1700 M )
6.        Dalem Apun Candramerta ( 1700 – 1714  M )
7.        Ny. Rd. Ayu Rajakusumanagara / Dalem Isrtri ( 1718 – 1736 M  )
8.        Dalem Wertayana / R.d Tumenggung Wiramnatri ( 1718 – 1736 M  )
9.        Dalem Adipati Jaya Manggala / R.d. Tum. Wiramnatri II ( 1736 – 1762  M  )
10.     Dalem Adipati Suriakusuma / R.d. Tumenggung Wiramantri III ( 1762 – 1787  M )
11.     Dalem Adipati Surianagara / R.d Tumenggung Wiramantri IV ( 1787 – 1789 M )
dan ( 1791 – 1803 M  )
12.     Panembahan Warganala IV / kyai Jalipan ( 1789 – 1791 M  )








 

C.      Upaya Pelestarian Peninggalan – Peninggalan Kerajaan Ciancang
Indonesia yang memiliki wilayah cukup luas dengan daratan hampir dua juta km², terdiri dari berbagai ragam bentuk muka bumi dan alam. Ragam dan bentuk muka bumi ini lah yang menentukan wajah budaya bangsa. Keanekaragaman komponen alam ini bisa menjadikan dua kemungkinan. Pertama bisa memacu bangsanya untuk berkreasi atau sebaliknya. Dengan alam yang aman dan subur bisa juga menjadi bangsanya bermalas - malasan karena dimanja kenikmatan alam.
Alam yang berubah – ubah cenderung mempengaruhi terhadap budaya manusia. Kekayaan alam dan budaya merupakan warisan bangsa indonesia yang tak ternilai dan perlu dilestarikan. Melestarikan alam dan budaya bangsa merupakan hal yang tidak mudah. Kewajiban manusia lah melalui kemampuanya untuk terus berupaya melestarikan. Sebab alam dan budaya memiliki arti dan peran strategi dalam menjaga kelanjutan dan eksistensi budaya bangsa, seperti pepatah sunda yang berbunyi “ Budaya teh cicirieun bangsa, jaya budayana tinangtu jaya bangsana ”. Ungkapan pepatah tersebut mengandung makna bahwa budaya adalah jati diri bangsa, kalau jaya budayanya tentu juga jaya bangsanya.
Warisan budaya bangsa ada yang bersifat tangible dan intangible. Warisan yang bersifat tangible adalah warisan yang dapat dipegang dan dipandang. Sedangkan intangible adalah warisan sistem kepercayaan, folkore, bahasa, upacara adat dan sebagainya. Untuk melestarikan warisan yang bersifat tangible pemerintah Indonesia pada tanggal 21 maret  1992 menerbitkan Undang - undang No. 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya sebagai pengganti dari Monumen Ordonantie No. 19 tahun 1931 yang dibuat oleh Hindia Belanda yang dianggap sudah tidak sesuai lagi. Undang – undang No. 5 tahun 1992 memuat tentang ketentuan, tujuan, maupun peraturan yang berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, ketentuan pidana dan peralihan BCB ( Benda Cagar Budaya ).
Peninggalan sejarah alam dan budaya dalam UU No. 5 tahun 1992 dipersempit menjadi BCB dan situs.
Batasan BCB menurut pasal No 1 adalah :
1)        Benda buatan manusia, bergerak maupun tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian – bagiannya atau sisa – sisanya, yang berumur sekurang – kurangnya 50 ( Lima puluh ) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
2)        Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah,  dalam pasal 2 adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamannya.( Katalog “Museum Generasi Muda”, Islamik Center, 2009 : 9 )
BCB bergerak adalah benda buatan manusia yang dapat dipindahkan dengan mudah tanpa merusak struktur, tempat keberadaan benda tersebut sebagai contoh : keris, perhiasan, naskah kuna, bagian bangunan, arca dll. Sedangakan BCB tidak bergerak adalah suatu benda yang sukar dipindahkan, apabila dipindahkan akan merusak tempat kedudukan benda tersebut, contoh : bangunan, monumen, goa, bekas pondasi dan sebagainya.
Penanganan warisan intangible belum memeperlihatkan hasil sesuai harapan bahkan belum ada peraturan yang secara khusus menjamin kelestariannya, sehingga dengan kuatnya pengaruh luar dan makin berkurangnya kesadaran masyarakat atas pentingnya warisan yang menyimpan sejumlah nilai, pengetahuan dan kearifan yang dapat dijadikan landasan, tuntunan bagi perkembangan budaya kita di khawatirkan akan terus mengkikis keberadaannya. Dengan dikeluarkanya Perda No. 5,6,7 oleh pemerintahan Provinsi Jawa Barat tahun 2003 diharapkan pelestarian, perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan warisan budaya dapat terakomodasi.
Ciancang meninggalkan benda – benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Ciancang yang sebagian besar berbentuk keris, tombak, dan dua buah sumur batu. Benda – benda ini disimpan di salah seorang warga yang mempunyai garis keturunan raja kecil Ciancang sedangkan dua buah sumur batu berada di Dusun Bojongnangoh yang sekarang di manfaatkan warga untuk keperluan sehari – hari masyarakat.
Peninggalan – peninggalan Kerajaan Ciancang hanya benda – benda pusaka dan sumur batu. Berbeda dengan Galuh Kertabumi  meninggalkan tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat sekitar, yaitu Tradisi Merlawuh, adalah tradisi persembahan do’a kepada tuhan dengan menyajikan berbagai makanan dari sejenis air dan beras yang dilakukan di sekitar makam yang disinyalir sebagai makam pendiri Galuh Kertabumi. Hal ini dapat dipahami  karena daerah Ciancang sudah terpengaruhi Islam dari Mataram dan Cirebon yang sangat kuat. Fakta ini dapat diperkuat dengan para pemimpinnya yang bergelar Kyai seperti Kyai Mas Jalipan. Kyai Mas Jalipan adalah seorang panglima perang Ciancang berdarah dari keluarga Agamawan salih masih berdarah Cirebon. Ajaran Islam di Ciancang atau Utama masih melekat kuat di masyarakat setempat sampai sekarang, bahkan di tatar Galuh Ciamis daerah Utama terkenal dengan sebutan daerah pesantren
Adapun langkah – langkah pelestarian yang dilakukan selama ini adalah dengan pemeliharan benda pusaka, partisipasi masyarakat dan  pemerintahan daerah.
Pencarian dan penulusuran benda – benda pusaka peninggalan Ciancang adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh salah seorang warga yang mengaku keturunan Bupati Ciancang. Beliau mencari bahkan membeli benda – benda pusaka yang berserakan di masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat luar Desa Utama bukan masyarakat desa asli Utama. Hal ini terjadi karena tingkat kesadaran dan pengetahuan akan sejarah desanya sendiri sangatlah kurang.
Ciancang merupakan daerah kabupaten di masa Kerajaan Mataram dan masa VOC. Nama Ciancang di rubah  menjadi Utama pada masa VOC karena ada penyerangan dari pasukan wetan. Pusat pemerintahan Ciancang berada di perbukitan antara perbatasan Desa Utama dengan Desa Sukamaju. Hal ini dapat di pahami karena pusat pemerintahan Ciancang di batasi dengan sungai dan parit tujuannya adalah  agar dapat menghalau serangan musuh
Pemeliharaan benda pusaka maupun situs Ciancang seyogyanya mayarakat harus ikut berpartisipasi. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang tinggal dan hidup dalam status sosial yang berbeda dengan tertib. Adapun yang menjadi objek amatan atau objek penelitian ini adalah sekelompok masyarakat yang mencintai akan sejarahnya Ciancang. Partisipasi masyarakat setempat sangatlah di butuhkan  karena bisa menjadi objek wisata yang bisa membuka peluang pendapatan perekonomian . Untuk itu masyarakat harus ikut serta dalam melestarikan peninggalan – peninggalan Ciancang.  Pada umumnya masyarakat tidak mengetahui akan sejarahnya desa sendiri. Adanya Desa Utama tidak lepas dari sejarahnya. Sejarah bukan hanya untuk diceritakan namun dapat dijadikan cerminan bagi kehidupan masa yang akan datang. Berbicara Kerajaan Ciancang atau Kabupaten Ciancang  berarti berbicara tragedi di Ciancang lazim disebut dengan Bedah Ciancang dan Banjir darah di Ciancang. Ironisnya Sebagian masyarakat Desa Utama tidak mengetahui akan tragedi ini. Jika masyarakat ingin mengetahui sejarah desanya secara otomatis mereka akan bertanya – tanya mengenai peninggalan – peninggalan leluhurnya sehingga tertanam pada diri mereka rasa kebanggaan menjadi warga Desa Utama dan tertanam keinginan untuk memelihara peninggalan – peniggalan yang sudah ditemukan sebagai contoh sumur batu yang berada di dusun Bojongnangoh Desa Utama Kecamatan Cijeunjing. Dengan kata lain masyarakat acuh tak acuh kepada saksi bisu akan perjalanan Kerajaan Ciancang
Selain itu di kalangan masyarakat awam nama Ciancang identik dengan makam para bupati beserta keluarganya yang berada di Gunung Jati tepatnya di dusun Cibereum Desa Utama Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Gunung Jati ini masih ada kaitanya dengan Gunung Jati di Cirebon. Gunung Jati di Ciamis adalah tempat menyimpan barang – barang, seperti keris, pedang dan sejumlah uang logam namun terkubur di Gunung Jati. Sedangkan Gunung Jati di Cirebon adalah tempat untuk ziarah. Area makam keluaraga itu di kelilingi oleh pesawahan dan kerap digunakan sebagai tempat keramat oleh masyarakat luar Desa Utama. Ada larangan yang mengandung mitos bagi masyarakat sekitar yaitu, tidak boleh membawa atau menebang kayu di Gunung Jati, apabila sampai terjadi maka kayu itu akan meminta untuk di kembalikan ke tempat semula.
Mengingat begitu dangkalnya akan pengetahuan sejarah wilayahnya sendiri menjadi kehawatiran penulis, jangan – jangan sejarahnya Ciancang akan punah begitu saja. Oleh sebab itu penulis melanjutkan wawancara ke masyarakat lain yang dinilai sebagai orang yang menelusuri sejarahnya Ciancang. Namun  fakta yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Ia mengatakan bahwa peninggalan Ciancang berserakan dimana – mana tersebar di seluruh masyarakat luar daerah bukan masyarakat dalam daerah Utama.
Berdasarakan beberapa pendapat maka penulis menyimpulkan bahwa bagi kalangan masyarakat baik mayarakat biasa maupun masyarakat pegawai negeri, diketahui bahwa upaya pelestarian peninggalan – peninggalan kerajaan kecil Ciancang dari Masyarakat masihkurangdalampelestariannya, masyarakathanyamengabadikannama Ciancang dalam organisasi kepemudaan yaitu, organisasi Karang taruna Ciancang. Bahkan mereka mengatakan bahwa pemerintah yang harus memelihara dan melestariakn peninggalan Ciancang, bukan masyarakat. Masyarakat juga menyinggung tentang pemeliharaan dua buah sumur batu  peninggalan Ciancang yang kurang pemeliharaannya. Padahal dua sumur batu itu sangat bermanfaat bagi masyarakat baik dari bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Pemerintahan daerah juga seharusnya ikut melestrikan peninggalan Ciancang karena pemerintahan daerah merupakan pelindung dan pengayom masyarakat, pemerintah daerah seharusnya mampu mejadi pelindung benda cagar budaya yang bersifat lokal. Peranan pemerintah daerah dan pusat sangat dibutuhkan karena  secara kelembagaan pemerintah desa bisa bekerja sama dengan Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Ciamis. selain itu pemerintahhan daerah Desa Utama pada masa Agus Nurulsyam, S.ip., Ms,i sekarang ini masih menelusuri peninggalan – peninggalan dan sejarahnya Ciancang. Guna memelihara peninggalan – peninggalan leluhurnya supaya bisa di nikmati oleh generasi mereka.


untuk